Blog Slamet Priyadi
"Sajak Puisi Ki Slamet 42"
Senin, 10 September 2018-05:37 WIB
"Sajak Puisi Ki Slamet 42"
Senin, 10 September 2018-05:37 WIB
Ki
Slamet Priyadi 42 :
“SANG
BOMANTARA”
Pupuh
VI ( 1 – 28 )
6.
Bomantara Menyerang Negeri Mandura
(1)
Alkisah
maka sampailah Patih Mudra, Patih Aria Karia
Serta
para pengawal pengirignya di Negeri Trajutrina
Mereka
pun lalu masuk langsung menghadap rajanya
Maharaja
Bomantara bukan-kepalang senang hatinya
Ia bertanya: “Berita apakah yang kau bawa dari
sana?”
(2)
Maka
sembah Patih Mudra Karna dan Patih Aria Karia:
“Sri
Paduka Raja, adapun kabar dari Maharaja Jantaka
Tiadalah
ia mau menerima pinangan dari tuanku raja,
Dikarekan
Dewi Januati tak mau bersuamikan raksasa
Dia
lebihlah suka mati daripada bersuamikan paduka!”
(3)
Demi
mendengar pinangannya ditolak Prabu Jantaka,
Dia
pun marah bukan kepalang remuk redam hatinya,
Seketika
itu juga, ia menitahkan pada kedua Patihnya,
Pun
beserta segenap menteri dan hulubalang semua
Untuk
menghimpun sepenuhnya kekuatan bersenjata
(4)
Patih
Murda dan Patih Aria pun laksanakan titah Raja
Setelah
segalanya siap mereka lapor pada Raja Boma:
“Kami
telah siap paduka, tinggal tunggu titah Paduka!”
Dengan
suara keras berserulah Maharaja Bomantara :
“Aku
sendirilah yang pimpim serangan ke Mandura.”
(5)
Setelah
demikian lalu Sri Paduka Maharaja Bomantara
Naiklah
ke atas Wilmananya terbang ke angkasa raya
Adapun
Patih Mudra, Patih Arya naik ke atas gajahnya
Sedangkan
Patih Jarasanda naiklah ke atas keretanya
Yang
diiring dan dikawal oleh segenap rakyat raksasa
(6)
Dikisahkan
tiada seberapa lama, Maharaja Bomantara
Dan
para pengawalnya sampailah di negeri Mandura,
Kedatangan
mereka itu diketahui oleh Patih Saksana
Yang
segera melaporkannya pada Maharaja Jantaka :
“Paduka
Raja, Raja Boma telah menyerang negeri kita
(7)
Mendengar
berita itu maka Maharaja Jantaka berkata:
“Jika
demikian panggil ketiga mantri Mandura Nagara
Saksana
pun dengan cepat memanggillah ketiganya
Selamantri,
Asmaramantri, Jayapatih menghadap raja:
“Sembahan
patik paduka Raja, bersama Patih Saksana
(8)
Kami
berempat bertekad pertahankan negeri Mandura
Bela
pati berjuang melawan serangan Raja Bomantara
Bersama
pasukannya yang semata terdiri dari raksasa
Setelah
berkata demikian, mereka balik ke tempatnya
Untuk
persiapkanlah segala perlengkapan perangnya
(9)
Tiada
lama mereka kembali menghadap Raja Jantaka
Melaporkan
bahwa segala sesuatunya ‘lah siap siaga:
“Tuanku,
semua pasukan kita dengan segala senjata,
Hanya
tinggal menunggu perintah dari tuanku raja!”
Maka
bertitahlah Sang Sri Paduka Maharaja Jantaka:
(10)
“Wahai
patih, kerahkan semua pasukan ke luar kota!”
Maka
Patih Saksana dan Jayapatih berangkat segera
Dengan
segenap hulubalang yang gagahlah perkasa
Hadang
di tengah padang luar kota tunggu lawannya
Sambil
hunus senjata bekilauan laksana kilat di akaca
(11)
Sepeninggal
patih dan pasukannya pergi ke luar kota
Baginda
masuk ke istana temui kedua
permaisurinya
Ketika
itu Dewi Januati duduk pada ribaan bundanya
Menangisi
sang ayahanda yang akan ke medan laga
Meski
telah dibujuk namun tiada mau berhenti juga
(12)
Maka
Maharaja Jantaka pun semakinlah merasa iba
Kepada
Dewi Januati puteri yang teramat dikasihinya
Raja
membujuk lembut sebab ia akan ke medan laga
Pergilah
berperang dengan Sri Maharaja Bomantara
Berkatah
Sang Maharaja Jantaka kepada puterinya :
(13)
“Tinggallah
engkau baik-baik, pabila nanti ayahanda
Kalah
dan mati, kau pasti berhamba pada Raja Boma
Raja
yang amat sakti tiada ada tanding di marcapada
Demi
mendengarlah tuturan kata sang ayahandanya
Kedua
permaisuri dan Putri pun menangis sejadinya
(14)
Tak
terkecuali dayang-dayang pun menangislah pula
Tetapi
tangisan Dewi Januatilah yang semakin murca
Maka
diusap wajah sang putri dengan mawar bunga
Ketika
sadar, Dewi Januati pun peluklah ayahandanya
Seraya
berkata: “Ya, ayahanda pergi sendirianlah saja
(15)
“Baiklah
ayahanda, terlebih dahulu bunuhlah hamba,
Agar
janganlah lagi hamba dapat melihat ayahanda,
Apa
gunanya hidup bila tiada kasih dari ayahanda!”
Betapa
kasihnya Dewi Januati kepada ayahandanya
Yang
merasa bahwa dia akan ditinggalkan ayahnya
(16)
Syahdan,
menurutlah kisah yang empunya cerita,
Segala
bidadari, indra-indra, dan para dewa-dewa,
Semuanya
turutlah menangis, melas dan amat iba
Melihat
Dewi Januati menangisi sang ayahandanya
Yang
sudah tahu ajal ayahnya di tangan Raja Boma
(17)
Hujan
pun turun rintik-rintik, bunyi guntur pertala
Tedengar
ayup-sayuplah di antara ada dan tiada,
Sang
teja berdiri seakan beri isyarat bahwasannya
Sang
Maharaja Jantaka akan segera gugur perlaya
Tewaslah
di tangan Sri Paduka Maharaja Bomantara
(18)
Maharaja
Jantaka pun tahu yang demikian adanya
Adalah
suatu isyarat, dan itu pertanda bagi dirinya
Bahwa
ajal kematiannya akan segera menjemputnya
Maka
dia mohon diri kepada kedua
permaisurinya
Pada
segenap abdi dalem, pun para dayang istana
(19)
Kononlah
cerita, setelah baginda tibalah di luar kota,
Keempat
menteri dan hulu balang sudah ada di sana
Pun
rakyat Mandura ‘lah siap dengan segala senjata
Keempat
menteri yang dikepalai oleh Patih Saksana
Pun
datang menyembah kepada Maharaja Jantaka :
(20)
“Paduka
Raja, patik sekalian ini persembahkan nyawa
Kepada
paduka, pabila patik mati sekalipun patik rela
Adapun
Maharaja Boma itu diapun sudahlah berada
Di
kota ini pula ya tuanku paduka Maharaja Jantaka!”
Maka
Prabu Jantaka bertitah: “Jikalau begitu adanya,
(21)
Segeralah
hadirkan segala menteri, hulubalang kita
Agar
siap berhadapan dengan dia Maharaja Boma.”
Maka
keempat menteri itu pun dengan secepatnya
Mengerahkan
segala menteri hulubalang semuanya
Agar
menghadang tentara raksasa negeri Trajutrisna
(22)
Melihat
semua itu, Maharaja Bomantara secepatnya
Berilah
Perintah pada Patih Sapara, dan Patih Utara
Agar
bersama rakyat raksasa masuk ke medan laga
Setelah
kedua pasukan itu saling berhadapan, maka
Di
bawah pimpinanlah Patih Sapara dan Patih Utara
(23)
Maju
menerjang terjang pasukan Maharaja Jantaka
Yang
memang sudah mempersiapkan sebelumnya
Nampaklah
jelas terlihat pasukan Maharaja Jantaka
Kewalahan
menghadapi cara tempur pasuka raksasa
Mereka
kewalahan dan banyak yang gugur perlaya
(24)
Bertimbun-timbun
bangkai mayat pasukan Mandura
Selain
itu makanan perbekalan pun tiada yang tersisa
Semua
habis disantap, dimakan oleh pasukan raksasa
Bahkan
bangkai manusiapun habislah pula dilahapnya
Sungguh
tak lagi patuhi aturan perang di medan laga
(25)
Sisa
pasukan Mandura yang masihlah hidup, mereka
Semua
lari tunggang langgang selamatkanlah dirinya
Di
tengah medan laga itu yang ada hanyalah mereka,
Patih
Saksana,Patih Sela,Patih Asmara, dan Patih Jaya
Berdiri
di tengah medanlaga bersama gajah-gajahnya
(26)
Mereka
hadapi pasukan raksasa Maharaja Bomantara
Yang
amuk sejadinya pada prajurit Maharaja Jantaka
Hingga
lari gancang tunggang-langgang semuanya
Pasukan
raksasa itu pun dihadapi oleh Patih Saksana,
Patih
Selamantri, Patih Jaya Patih, dan Patih Asmara
(27)
Ke
empat patih itu amat sakti bagi pasukan raksasa
Hingga
mereka banyak yang mati, dan yang tersisa
Semua
larilah kucar-kacir meninggalkan medan laga
Hal
ini buatlah geram Patih Sapara dan Patih Utara
Keduanya
sepakat akan membunuh mereka semua
(28)
Maharaja
Boma yang melihat ini berseorah berkata :
“Patih
Sapara dan Patih Utara, jangan kau dekati dia,
Dia bagianku, biar akulah yang akan
membunuhnya!”
Lalu Maharaja Bomantarapun turunlah dari Wilmana
Berjalan
hampiri ke empat menteri Mandura Nagara
Kp.
Pangarakan, Bogor
jumat,
1 Agustus 2018
Pukul
: 10:17 WIB
REFERENSI
:
Balai
Pustaka, “Sang Boma”
Penerbit
: Balai Putaka 1978
Tidak ada komentar:
Posting Komentar