Jumat, 29 Maret 2019

BAGAI ULAR BERKEPALA DUA By Ki Slamet 42

Blog Ki Slamet : "Sajak Puisi Ki Slamet 42
Sabtu, 30 Maret 2019 - 09:30 WIB

 
Image "Ular Bekepala dua (Foto: Google)
Ular berkepala dua
BAGAI ULAR BERKEPALA DUA
By  Ki Slamet 42

Ini cerita sebagian dari orang kita
Yang suka dan gemar carilah muka
Sana-sini mencaci sini-sana memuja
Hatinya bersisik ba’ ular kepala dua

Di depan lidahnya menjulur menjilat  
Ketika kepentingannya tak didapat
Dia pun mencelat bagai kutu loncat
Yang terus menggeliat dengan kuat

Janji ‘tuk loyal setia penuh puji puja
Semuanya cuma kepentingan semata
Di depan menyosor-nyosorkan muka
Di belakang tiada hentinya menista

Carilah kesalahan di sana dan di sini
Bersilat kata dengan alibi demokrasi
Bicaranya asal ceplas-ceplos tanpa isi
Seenak diri asalkan senanglah di hati

 Sabtu, 30 Maret 201909:05 WIB
 Kp. Pangarakan – Bogor
Description: https://resources.blogblog.com/img/icon18_wrench_allbkg.png
 

Rabu, 27 Maret 2019

Ki Slamet 42 : "BALADA NEGERI KACAU BALAU"

Blog Ki Slamet : "Sajak Puisi Ki Slamet Priyadi
Kamis, 28 Maret 2019 - 08:30 WIB



Ki Slamet (Foto: SP)
Ki Slamet 42

“BALADA NEGERI KACAU BALAU”
Karya: Slamet Priyadi

Inilah kisah tentang negeri kacau balau
Yang mentarinya selalu bersinar kemilau
Yang belantaranya pun lebat menghijau
Dan bermacam satwanya riang berkicau

Sawahnya menghampar di semua pulau
Penduduknya ramah tiada pernah galau
Meski berbeda agama budaya dan suku
Tetapi tetap bersatu tak pernah kacau

Kini semua itu seperti tak nampak lagi
Hanya mentari yang masih sambut pagi
Bercahaya kemilauan di sepanjang hari
Seakan tak perduli dengan yang terjadi

Bahwa rimba lebatnya kerontang adanya
Satwa-satwanya pun dirudung duka-lara
Hamparan sawah luas lah berubah warna
Berganti bangunan tinggi berdiri jumawa

Kebaikan dan keburukan sulit dibedakan
Kebenaran vertikal tak lagi jadi pedoman
kebenaran horisontal itu yang jadi acuan
Para pemimpin tiada lagi menjadi teladan

Banyak pejabat mengkorupsi uang rakyat
Perkayalah diri tak peduli rakyat melarat
Ajaran agama tak lagi dipegang kuat-kuat
Tergerus terbius oleh godaan nafsu jahat

Negeri ini nyaris kacau-balau dan anarki
Tiada ada lagi sosok yang bisa diteladani
Perilaku koruptif sudah menjadi tradisi
Hampir semua instansi terlibat korupsi

Perampokan, pembunuhan, kriminalisasi
Kian makin merajalela di seluruh negeri
Diaktori oknum pejabat dan organisasi
Tiada lagi kompromi apalagi hati nurani

Akan tetapi Nusantara itu adalah beta
Dimana jiwa raga beta menyatu di sana
Dan bersama aji sakti Garuda Pancasila
Beta akan libas sirnakan angkara murka


Kamis, 28 Maret 2019 ­ 08:00 WIB
­ SP42 ­
di Bumi Pangarakan, Bogor

Selasa, 26 Maret 2019

Ki Slamet 42 : "BIARKANLAH MEREKA NYINYIR !"

Blog Ki Slamet : "Sajak Puisi Ki Slamet 42"
Selasa, 26 Maret 2019 - 18:46 WIB

BIARKANLAH MEREKA NYINYIR !
Presiden RI Ir. Joko Widodo

"BIARKANLAH MEREKA NYINYIR !"
By Ki Slamet Priyadi

Jika di dalam diri kita sudahlah melekat
Mengkeristal bersemayam dengan kuat
Suatu perasaan antipati yang menggeliat
Maka yang paling amatlah fokus terlihat
Adalah semuanya yang buruk dan cacat

Bertopang pada referensi yang dipilihnya
Yang sesuai dan mendukung hipotesisnya
Lalu dengan suka bergibah kemana-mana
Bahkan sebar fitnah  ke  berbagai media
Tentang non fakta disulap seakan realita

Fakta kebenaran sama sekali tak terlihat
Bersilat kata penuh siasat tega menyacat
Segala kelebihan orang tiada jua terlihat
Padahal kemajuan itu telah nyata terlihat
Real di peloksok negeri menjogrok kuat

Tapi biarlah mereka bernyinyir pendapat
Tak perlu direspon biarlah mereka kualat
Mari berdoa agar Jokowi tetaplah sehat
 Kembali lagi ia dipercaya seluruh rakyat  
Dan menjadi Presiden NKRI yang hebat

Medio, Selasa, 26 2019 - 18:45 WIB
KSP42 di Pangarakan, Bogor

 




Sabtu, 16 Maret 2019

Ki Slamet 42 : "HIKAYAT PANJI SEMIRANG 4"

Blog Ki Slamet : "Sajak Puisi Ki Slamet 42
Minggu, 17 Maret 2019 - 06:58 WIB

Image "Panji Semirang 4 (Foto: SP)

Prosa Liris :
“HIKAYAT PANJI SEMIRANG 4”
G u n a – G u n a  S e l i r  M u d a

Awan hitam bergumpal-gumpalan bertebaran
Ditiuplah sang bayu yang berhembus perlahan
Rintang wajah sang surya yang tak lagi tampan
Elang hitam memangsa emprit yang bercuitan

Beringin di alun-alun daunnya pun berguguran
Keraton Daha tampak suram tiada masa depan
Rakyat Daha keloro-loroan dirudung kedukaan
Apakah gerangan yang buatlah jadi demikian?

Puspa Ningrat yang duduk di balai peranginan
Nampak tak seperti biasanya penuh keceriaan
Kali ini wajahnya pucat tiada kesumeringahan
Ketika seorang dayang datang bersembahan

Ia teringat akan bingkisan tapai persembahan
Dari Paduka Liku sang selir muda kesayangan
Sri Baginda Raja Daha adiklah Raja Kahuripan
Maka Puspa Ningrat pun menyuruh ambilkan
 
Tapai bingkisan kepada  dayang kesayangan:
“Wahai dayang, tolonglah ambilkan bingkisan
Tapaiku di atas meja di dalam bilik peraduan!”
Sang dayang segeralah ambil tapai bingkisan

Lalu bingkisan diberikanlah kepada permaisuri
Yang menerimanya  dengan wajah nan berseri
Sutra penutup tapai dibukalah dengan hati-hati
Sang permaisuri nampak sungguh tergiur sekali

Ketika mau mengambil tapai hendaklah dicicipi
Sontak burung-burung di luar rianglah bernyanyi
Seperti berilah peringatan pada sang permaisuri
Urungkan niatnya cicipi tapai yang telah diracuni

Akan tetapi amat sayang permaisuri sama sekali
Tidak mengerti bahasa burung yang menasehati
Ia hanya tersenyum menoleh berulang-ulang kali
Ke arah burung-burung yang teruslah bernyanyi

Di saat permaisuri asyik melihat burung bernyanyi
Tiba-tiba seekor cecak jatuh dari langit-langit puri
Cecak hinggap melekat di pundak kiri permaisuri
Permaisuri kaget lalu kibas cecak hinggalah mati

Sesungguhnyalah seekor cecak itu juga memberi
peringatan kepada Ayu Puspa Ningrat permaisuri
agar jangan sekali-kali mencoba makan mencicipi
tapai beracun dari Galuh Ajeng si selir pendengki

Akan tetapi Sang Dewata Agung berkendak beda
Begitu sang permaisuri Puspa Ningrat mencoba
Makan tapai beracun meskipun hanya sedikit saja
Racun jahat bisa ular kobra langsunglah bekerja

Mata permaisuri melotot nampak putihnya saja
Mulutnya terkatup rapat mengeluarkanlah busa
Lengannya mengepal begitu amatlah kecangnya
Seperti sedang rasakan sakit yang tiada taranya

Maka gemparlarlah seisi istana dengar berita
Sang Permaisuri Baginda Raja terkena celaka
Keracunan makan tapai bingkisan selir muda
Baginda Raja Daha, dia Paduka Liku namanya

Baginda Raja pun suruh patih dan mentrinya
Panggil tabib istana obati permaisuri utama
Meski segala obat dan mantra telah dicoba
Namun ajal permaisuri tak lagi bisa ditunda

Kematian permaisuri Sri Baginda Raja Daha
Yang amat tragis itu membuat Sri Baginda
 Candra Kirana, dan dayang kesayangannya
Mahadewi tiada sadar diri pingsan seketika

Ketika sadar Mahadewi menangis sejadinya
Meratap mencium tangan permaisuri utama
Seraya tutupi mayat sang permaisuri utama
 Dengan jarik kain batik lurik kesayangannya

Setelah itu ia menolong Galuh Candra Kirana
Tubuhnya egera dirangkul dan dicium hingga
Galuh Candra Kirana sadarlah dari pingsannya
Bersamaan dengan itu sadar pula sri baginda

Candra Kirana yang baru sadar dari pingsannya
Menghampiri jenazah ibunda permaisuri utama
Ia menangis tersedu-sedu berderai air matanya
Dayang Istana Mahadewi segera menghiburnya

Setelah keadaan menjadi reda, Sri Bagida Raja
Bertanyalah sebab kematian permaisuri utama
Kepada seluruh paralah dayang-dayang istana
Maka dayang tertua menjawab seraya katanya:

 “Ya tuanku, hamba mohon maaf sesungguhnya
Hamba tidak tahu apa sebab permaisuri utama
Bisalah tewas sedemikian rupa, tetapi hamba
Melihat sebelum ajal, sang permaisuri utama

Menyantaplah tapai bingkisan dari selir muda
Paduka Liku!” Demikianlah kata dayang tertua
“Apa, bersantap tapai?” jawab baginda curiga
Sri Baginda Raja betapa sangatlah murkanya

Seketika itu juga Sri Baginda Raja Daha segera
suruh para dayang mengambil tapai itu seraya
tangannya pun menunjuk ke arah tapai celaka
yang lah sebabkan tewasnya permaisuri utama:

Dayang tertua mengambil tapai itu lalu segera
Dipersembahkan kepada Sri Baginda Raja Daha
Sang Baginda memeriksa tapai itu lalu bertanya:
“Dayang, dari siapa tapai itu?” bertanya baginda

 “Tapai itu persembahan Paduka Liku, baginda!”
Jawab dayang tertua dengan kata terbata-bata
Hati Sri Baginda menjadi bertambahlah curiga
Sri Baginda Raja membawa tapai keluar istana

Lalu tapai itu diberikanlah kepada anjing istana
Yang seketika itu juga, anjing itu tewaslah pula
Gejala dan ciri-cirinya sama dengan tewasnya
Puspa Ningrat Sang Permaisuri utama Baginda

Maka kembali menjadi gemparlah seisi istana
Karena hewan-hewan peliharaan baginda raja
Yang memakan tapai itu pun matilah seketika
Keadaan pun semakin menjadi gempar ketika

Galuh Candra Kirana pingsanlah kedua kalinya
Hal ini membuat Sri Baginda bertambah murka
Lalu diboponglah tubuh putrinya Candra Kirana
Dibawa kemana-mana tanpa ketentuan arahnya

Tiba-tiba baginda ambil pedang lalu dihunusnya
Seraya berjalan cepat menuju ke arah puri istana
Paduka Liku sang selir muda Baginda Raja Daha
Sekalian orang seisi istana ketakutanlah jadinya

Melihat Sri Baginda murka acungkan pedangnya
Wajahnya nampak merah padam, mata menyala
Pancarkan api panas bagai panasnya api dahana
Seraya berteriak keras menggelegarlah suaranya:

 “Saat ini juga akan aku cabut nyawa selir mudaku
Paduka Liku yang telah membunuh permaisuriku
Pastilah akan aku penggallah batang lehernya itu
Dan akan kupotong tiga badanya baru puas aku!”

Demikianlah sumpah serapah Baginda Raja Daha
Yang langsung terus masuk ke dalam puri istana
Tempat Paduka Liku selir muda Sri Baginda Raja
Yang bersifat culas, iri dan pendengki yang tega

Meracuni Puspa Ningrat sang permaisuri utama
Cumalah karena merasa iri  hatinya dibeda-beda
Kasih sayang antara Galuh Ajeng putri selir muda
Dan Putri permaisuri utama Galuh Candra Kirana

Sementara Paduka Liku yang telah dengar warta
Puspa Ningrat telah tewas merasa amatlah suka:
“Syukurlah, mampus kau Puspa Ningrat celaka!”
Demikian umpat Paduka Liku dengan girangnya

Namun ketika dengar Sang Baginda Raja Murka
Mencari bermaksud akan membunuhlah dirinya
Dengan penggal kepalanya potonglah badannya
Maka Paduka Liku persiapkan mantra guna-guna

Pemberian dari sang pertapa sakti Ajar Sokalima
Ketika Sri Baginda masuk ke puri sang selir muda
Paduka liku berlari masuklah ke dalam kamarnya
Naiklah ke peraduan ambil sepah sirih guna-guna
Paduka Liku berkonsentrasi, pusatkan pikirannya
Menataplah ke arah kedua mata Sri Baginda Raja
Sambil geliatkan mata batin dalam hati ucap kata:
“Manut..., manutlah, tunduk..., tunduklah segera!”

Setelah selir muda mengucap mantra guna-guna
Paduka liku persilahkan baginda duduk di sisinya
Maka bekerja mantra pelet sepah sirih guna-guna
Menelusuplah ke dalam atma Sang Baginda Raja

Api kemarahan baginda pun padam tersiram tirta
Mantra pelet sepah sirih guna-guna Ajar Sokalima
Maka geliat rasa renjana Baginda muncul seketika
Lengan perkasa sekeras baja pun kini hilang sirna

Dan, lepaslah pedang di tangan Sri Baginda Raja
Kini Sri Baginda Raja ‘lah kepincut lagilah hatinya
Gelegar suara kemarahan yang gegaplah gempita
Jadi lembut ba’ suara kumbang hisap sari bunga:

“Oh, Paduka Liku! Betapa kakanda amat merindu
Denganlah kemesraan kita yang sepertilah dahulu
Dan, dimanakah Galuh Ajeng si manja putri kita?”
Demikian tutur kata penuh rayu  Sri Baginda Raja

Demilah mendengar lemah-lembut suara baginda
Selir muda Paduka Liku betapa suka, lalu berkata:
“Ya, kakanda junjungan hati hamba yang tercinta
Silahkan Sri Baginda Raja melepas lelah dulu saja

Dinda pikir ananda Galuh Ajeng sedang suka-suka
Bermain dengan dayang-dayang di luarlah istana!”
Maka tak terdengar lagi suara bingar di puri istana
Bergantilah dengan suara gelora nafas Sri Baginda

Yang terengah-engah larut di alam asmara renjana
Bersama Paduka Liku si penganut pelet guna-guna
Hingga serasa begitu patuhnya kepada selir muda
Yang membunuh permaisuri utama dengan kejinya

Setelah puaslah bermesraan dengan sang selir muda
Sri Baginda Raja pun cepatlah tinggalkan puri istana
Tuk Selesaikan pembakaran mayat permaisuri utama
Sementara mendung tebal menghiaslah langit akaca

Seketika hujan gerimis pun mulai  guyur bumi loka
Seolah-olah turut bersedih hati dirudung duka lara
Rakyat Daha berduka menangis teteskan air mata
            Saksikan upacara pembakaran mayang sang Puspa             

— Slamet Priyadi 42 —
Minggu, 17 Maret 2019 – 06:40 WIB

PUSTAKA :
S. Sastrawinata, “Panji Semirang”
Balai Pustaka 1986