Blog Slamet Priyadi:
Sajak Puisi Ki Slamet Priyadi 42
Selasa, 15 Oktober 2018 - 05:52 WIB
Sajak Puisi Ki Slamet Priyadi 42
Selasa, 15 Oktober 2018 - 05:52 WIB
Ki
Slamet Priyadi 42 :
“SANG BOMANTARA”
Pupuh
X1V ( 1-17 )
14. Bertemu Dengan Begawan
Ketumbar
(1)
Alkisah dalam perjalanan pulang ke negerinya
Raden Samba besertalah segenap pasukannya
Sampai di sebuah dusun tempat para pertapa
Maka dipandulah oleh sang Begawan Karanda
Merekapun beristirahat ‘tuk lepaskan
lelahnya
(2)
Raden Samba melihat sebuah balai indah rupa
Di bawah pohon nagasari sedanglah berbunga
Teramat harum baunya terhembus angin senja
Laksanalah persembahkan wangi-wangi bunga
Cuma husus kepada Raden Samba Prawirajaya
(3)
Maka Raden Samba bersama Begawan Karanda
Duduk di atas balai itu yang di sisi
kiri-kanannya
Ditanami pohon kemuning sedanglah berbunga
Bunga-bunga yang gugur hampar di bawahnya
Mengeluarkanlah bau nan semerbak harumnya
(4)
Hingga sang kumbang datang hisaplah sarinya
Mendengung seperti bersenandung nada-nada
Kidung asmarandana menggugah rasa renjana
Di depan
balai tepat di hadapan Raden Samba
Terdapatlah
kolam yang amatlah jernih airnya
(5)
Di tengah
kolam itu yang amatlah jernih airnya
Banyaklah
berserakan batu-batu putih rupanya
Dari selah
bebatuan keluar air mancur menerpa
Daun dan
bunga tunjungsari dan Raden Samba
Seperti mengajaknya
bermain dan bercanda ria
(6)
Maka Raden
Samba pun turun dan mandilah ia
di kolam
yang airnya memancar terpa wajahnya
setelah
selesai ia pun bersalin pakaian sesegera
Lalu dia
duduklah di atas balai bersama Karanda
Di bawah
pohon nagasari yang rimbun daunnya
(7)
lalu
bersamadi kumpulkan segala kesaktiannya
Anugerah
dari sang ayah Prabu Batara Kresna
Setelah
itu ia ajaklah Begawan Karanda Dewa
‘Tuk
temani jalan-jalan ke taman yang lainnya
Pada salah
satu taman lain yang didatanginya
(8)
Dijumpainya
seorang pertapa yang bernama
Begawan
Ketumbar yang sedanglah bertapa
Di bawah
pohon nagasari dengan khusu’nya
Akan
tetapi ketika Raden Samba Prawirajaya
Tibalah
ditempat Begawan Ketumbar bertapa
(9)
Begawan
Ketumbarpun hampiri Raden Samba
Lalu
dibawanyalah naik duduk di atas balainya
Maka
ketika dia menatap wajah Raden Samba
Betapa ia
jadi tercengang-cengang dibuatnya
Wajah
Mahawisnu ada di wajah Raden Samba
(10)
Begawan Ketumbar
sudahlah dengar beritanya
Bahwa
raksasa yang telah bunuhi para pertapa
Sudahlah
ditumpas oleh pasukan Raden Samba
Putera
dari Sang Maharaja Prabu Betara Kresna
Raja
Negeri Dwarawati titisan Mahawisnu Dewa
(11)
Begawan
Ketumbar berkata pada Raden Samba:
“Jika
tiadalah Raden menumpas segala raksasa
Yang telah
banyak membinasakan para pertapa
Di gunung
Jingga Biru ini, tentu niscaya hamba
Tiadalah
bisa hidup lagi sebagaimana mestinya!”
(12)
Raden
Samba merasa terharu dengan kata-kata
Polos
Begawan Ketumbar, maka ia pun berkata:
“Duh Paman
Begawan, janganlah bertutur sapa
Demikian,
karena semua sudah kewajiban saya
Laksanakan
tugas dari ayahanda Betara Kresna.”
(13)
Raden
Samba masih melajutkan penjelasannya:
“Sebagaimana
paman begawan mengetahuinya
Daerah
Jingga Biru ini masihlah di bawah kuasa
Perlindungan
Sang Maha Prabu Betara Kresna,
Raja Dwarawati
yang tak lain adalah ayah saya!”
(14)
“Baik
Raden!” Begawan Ketumbar pun segera
Ajaklah
Raden Samba dan Begawann Karanda
Beserta
seluruh para prajurit yang turut serta
Untuk
mencicipi jamuan hasil pertanian para
Pertapa
gunung Jingga dan gunung Angkasa:
(15)
“Hayolah,
sebelum Raden Samba Prawirajaya
Lanjutkan
perjalanan pulang, cicipilah segala
Jamuan
makan hasil pertanian para pertapa
Di gunung
Jingga Biru dan gunung Angkasa,
Semoga
Raden Samba tiada merasa kecewa!”
(16)
Maka Raden
Samba beserta para pengawalnya
Dan semua
pasukannya cicipi jamuan yang ada
Merekapun
makan ubi-ubian, keladi dan segala
Buah yang
ditanamlah sendiri oleh para pertapa
Setelah
kenyang imerekapun mohon diri segera:
(17)
“Paman Begawan,
terimakasih untuk jamuannya
Kami semua
mohon diri, dan apabila masih ada
Para
raksasa yang masih datang bunuhi pertapa
Tentu kami
semua akan kembali menumpasnya!”
Sang
Begawanpun berkata:“Terimakasih Samba.”
Sabtu,
13 Oktober 2018
Pukul
: 07:25 WIB
REFERENSI
:
Balai
Pustaka, “Sang Boma”
Penerbit
: Balai Putaka 1978
Tidak ada komentar:
Posting Komentar