Minggu, 14 Oktober 2018

Ki Slamet Priyadi: "SANG BMANTARA" Pupuh 14

Blog Slamet Priyadi:
Sajak Puisi Ki Slamet Priyadi 42
Selasa, 15 Oktober 2018 - 05:52 WIB


Sang Bomantara

Ki Slamet Priyadi 42 :
“SANG  BOMANTARA”
Pupuh X1V ( 1-17 )

14.  Bertemu Dengan Begawan Ketumbar

(1)
Alkisah dalam perjalanan pulang ke negerinya
Raden Samba besertalah segenap pasukannya
Sampai di sebuah dusun tempat para pertapa
Maka dipandulah oleh sang Begawan Karanda
Merekapun beristirahat ‘tuk lepaskan lelahnya

(2)
Raden Samba melihat sebuah balai indah rupa
Di bawah pohon nagasari sedanglah berbunga
Teramat harum baunya terhembus angin senja
Laksanalah persembahkan wangi-wangi bunga
Cuma husus kepada Raden Samba Prawirajaya

(3)
Maka Raden Samba bersama Begawan Karanda
Duduk di atas balai itu yang di sisi kiri-kanannya
Ditanami pohon kemuning sedanglah berbunga
Bunga-bunga yang gugur hampar di bawahnya
Mengeluarkanlah bau nan semerbak harumnya

(4)
Hingga sang kumbang datang hisaplah sarinya
Mendengung seperti bersenandung nada-nada
Kidung asmarandana menggugah rasa renjana
Di depan balai tepat di hadapan Raden Samba
Terdapatlah kolam yang amatlah jernih airnya

(5)
Di tengah kolam itu yang amatlah jernih airnya
Banyaklah berserakan batu-batu putih rupanya
Dari selah bebatuan keluar air mancur menerpa
Daun dan bunga tunjungsari dan Raden Samba
Seperti mengajaknya bermain dan bercanda ria

(6)
Maka Raden Samba pun turun dan mandilah ia
di kolam yang airnya memancar terpa wajahnya
setelah selesai ia pun bersalin pakaian sesegera
Lalu dia duduklah di atas balai bersama Karanda
Di bawah pohon nagasari yang rimbun daunnya

(7)
lalu bersamadi kumpulkan segala kesaktiannya
Anugerah dari sang ayah Prabu Batara Kresna
Setelah itu ia ajaklah Begawan Karanda Dewa
‘Tuk temani jalan-jalan ke taman yang lainnya
Pada salah satu taman lain yang didatanginya

(8)
Dijumpainya seorang pertapa yang bernama
Begawan Ketumbar yang sedanglah bertapa
Di bawah pohon nagasari dengan khusu’nya
Akan tetapi ketika Raden Samba Prawirajaya
Tibalah ditempat Begawan Ketumbar bertapa

(9)
Begawan Ketumbarpun hampiri Raden Samba
Lalu dibawanyalah naik duduk di atas balainya
Maka ketika dia menatap wajah Raden Samba
Betapa ia jadi tercengang-cengang dibuatnya
Wajah Mahawisnu ada di wajah Raden Samba

(10)
Begawan Ketumbar sudahlah dengar beritanya
Bahwa raksasa yang telah bunuhi para pertapa
Sudahlah ditumpas oleh pasukan Raden Samba
Putera dari Sang Maharaja Prabu Betara Kresna
Raja Negeri Dwarawati titisan Mahawisnu Dewa

(11)
Begawan Ketumbar berkata pada Raden Samba:
“Jika tiadalah Raden menumpas segala raksasa
Yang telah banyak membinasakan para pertapa
Di gunung Jingga Biru ini,  tentu niscaya hamba
Tiadalah bisa hidup lagi sebagaimana mestinya!”

(12)
Raden Samba merasa terharu dengan kata-kata
Polos Begawan Ketumbar, maka ia pun berkata:
“Duh Paman Begawan, janganlah bertutur sapa
Demikian, karena semua sudah kewajiban saya
Laksanakan tugas dari ayahanda Betara Kresna.”

(13)
Raden Samba masih melajutkan penjelasannya:
“Sebagaimana paman begawan mengetahuinya
Daerah Jingga Biru ini masihlah di bawah kuasa
Perlindungan Sang Maha Prabu Betara Kresna,
Raja Dwarawati yang tak lain adalah ayah saya!”

(14)
“Baik Raden!” Begawan Ketumbar pun  segera
Ajaklah Raden Samba dan Begawann Karanda
Beserta seluruh para prajurit yang turut serta
Untuk mencicipi jamuan hasil pertanian para
Pertapa gunung Jingga dan gunung Angkasa:

(15)
“Hayolah, sebelum Raden Samba Prawirajaya
Lanjutkan perjalanan pulang, cicipilah segala
Jamuan makan  hasil pertanian para pertapa
Di gunung Jingga Biru dan gunung Angkasa,
Semoga Raden Samba  tiada merasa kecewa!”

(16)
Maka Raden Samba beserta para pengawalnya
Dan semua pasukannya cicipi jamuan yang ada
Merekapun makan ubi-ubian, keladi dan segala
Buah yang ditanamlah sendiri oleh para pertapa
Setelah kenyang imerekapun mohon diri segera:

(17)
“Paman Begawan, terimakasih untuk jamuannya
Kami semua mohon diri, dan apabila masih ada
Para raksasa yang masih datang bunuhi pertapa
Tentu kami semua akan kembali menumpasnya!”
Sang Begawanpun berkata:“Terimakasih Samba.”


Sabtu, 13 Oktober 2018
Pukul : 07:25 WIB
REFERENSI :
Balai Pustaka, “Sang Boma”
Penerbit : Balai Putaka 1978
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar