Ki Slamet Blog - Sajak Puisi Ki Slaet
Senin, 11 Juni 2018 - 02:34 WIB
Senin, 11 Juni 2018 - 02:34 WIB
Lukisan Sang Maestro Afandi |
I
Adalah
aliran psikologi Gestalt yang
menyatakan bahwa suatu keseluruhan/totalitas memiliki kualitas baru yang tidak
sama dengan jumlah semua elemen-elemenya.
Kalau
kita memandang dalam kehidupan sehari-hari, maka nyata benar pernyataan di
atas. Kita sering membaca sebuah kata tanpa kita sadar bahwa pada kata itu ada
sebuah huruf yang hilang atau salah cetak. Kita mengenal sebuah wajah secara
intim sekali, tetapi bila pada suatu saat timbul pertanyaan bagaimana bentuk
bibir atau hidung dari wajah tersebut secara tepat, maka kita akan cukup sibuk
untuk mencoba merekonstruksikan kembali bentuk-bentuk bibir atau hidung yang
dinyatakan tersebut. bahkan kemungkinan besar kita gagal untuk memenuhi permintaan
itu. Padahal, kita sudah benar-benar sudah kenal dengan wajah tersebut.
Atau
pada sebuah lagu. Ambillah sebuah lagu yang telah kita kenal benar-benar yang
dapat kita lagukan satu demi satu nada-nadanya sambil kita setengah tidur. Dan
sekarang cobalah nada-nada dari lagu yang telah kita kenal itu, kita susun
secara baik, dari belakang ke permulaan, maka akan kita dapati betapa susah
melakukan hal ini. Dan kemungkinan besarvkita gagal sama sekali. Pdahal kita
sudah benar-benar kenal lagu itu.
Semua
ini karena pada hakekatnya, yang kita hayati ialah sebuah totalitas. Sebuah
totalitas bukanlah elemen yang kita susun satu persatu. Sebuah totalitas
langsung kita hayati sebagai keseluruhan, bukan melalui penghayatan
elemen-elemennya satu persatu. Sebuah wajah bukanlah kita hayati dengan
menghayati hidungnya, kemudian kita tambah dengan dengan penghayatan pada
matanyakemudian lainnya lagi. Sebuah lagu tidak kita hayati melalui nada yang
pertama ditambah dengan nada yang kedua dan seterusnya. Kita berhadapan langsung
secara keseluruhan dan kita menghayati langsung sebagai sebuah keseluruhan.
Elemen-elemennya, secara dinamis mengadakan interferensi yang menghasilkan
sebuah kualitas baru. Kualitas baru inilah yang langsung kita hayati, yang kita
tangkap pertama. Elemen baru muncul pada tahap kedua, setelah kita mengadakan
refleksi dan analisa.
II
Elemen
yang muncul sebagaai tahap kedua penghayatan, melalui refleksi dan analisa,
bukanlah elemen dengan kualitas universal. Elemen dalam hubungan dengan
totalitas, telah mendapatkan artinya yang baru. Elemen itu telah berubah.
Elemen itu telah menjadi elemen fungsional yang hanya bisa hayati secara tepat
sebagaimana dia menggejala kalau kita tidak melepaskannya dari fungsi
dinamisnya dengan ke “ada” bersamaannya.
Cobalah
bayangkan dua buah lagu, katakan saja lagu “Indonesia Raya” dan lagu “Padamu
Negeri”. Kita ambil sebuah nada yang “sama”, misalnya nada sol. Nada sol yang
kita ambil dari lagu yang pertama jelas tidak sama dengan nada sol yang kita
ambil dari lagu kedua. Yang pertama misalnya berfungsi memperkuat suasana
bersemangat yang ada pada lagu itu, yang kedua justru berfungsi untuk
memberikan kelainan dengan nada sol dari baris kedua lagu yang pertama. Padahal
secara ilmu fisika, nada sol itu dibunyikan secara sama, jumlah getarannya
setiap detik sama. Tetapi dalam suatu interferensi dinamik dalam sebuah lagu,
keduanya telah memperoleh fungsi baru karena itu tidaklah sama.
Keseluruhan/totalitas telah memberikan warna yang lain.
Demikianlah,
sebuah elemen yang terlepas dari sebuah totalitas, akan merupakan totalitas
sendiri yang akan memberikan kualitas yang lain daripada kualitas bila elemen
itu ada bersama dalam sebuah totalitas yang baru. Singkatnya, sebuah elemen
mendapatkan artinya sendiri-sendiri dari dalam totalitas dimana dia mendinamik.
III
Beberapa
buah nada yang saling mengadakan interferensi dinamis melahirkan sebuah
kualitas total yang bernama lagu, yang lain adalah dari jumlah semua
nada-nadanya. Dan sebuah lagu yang mengadakan interferensi dinamis dengan
seorang manusia yang menghayati, juga melahirkan kembali sebuah totalitas baru
yang lain. Demikianlah, penghayatan tiap-tiap manusia pada sebuah lagu yang
sama, ternyata bisa berlainan. Setiap penghayatan merupakan sebuah rekreasi,
menciptakan kembali dari karya seni yang dihayatinya. Ini juga berlaku dalam
penghayatan biasa terhadap obyek-obyek yang biasa. Setiap penghayatan adalah
unik, yang berbeda-beda secara kualitatif, dari orang yang normal sampai kepada
mereka yang mengalami gangguan kejiwaan. Inilah prinsip dari aliran Psikologis
Gestalt. Yang mengikutsertakan faktor manusia yang menghayati sebagai elemen
yang turut mengadakan interferensi dinamis dalam menyusun kualitas total yang
baru.
Dengan
demikian sebuah penghayatan merupakan sebuah pertemuan. Sebuah pertemuan
dinamis antara manusia yang menghayati dengan obyek yang dihayati. Sebuah
penghayatan adalah sebuah penyatuan yang melahirkan sebuah dunia unik. Subyek
dan obyek, atau lebih tepat dikatakan kwasi subyek dan kwasi obyek, muncul
dalam tahap kedua, setelah refleksi dan analisa. Penghayatan sendiri adalah
suatu kesatuan di mana subyek dan obyek melebur dan membentuk suatu dunia yang
unik.
IV
Ernest
Cassier menyatakan bahwa ilmu (science) berusaha menyederhanakan kenyataan
untuk menemukan prinsip yang umum, sedangkan seni berusaha mengintensifir dan
mengkonsentrir kenyataan, untuk menemukan gejala-gejala sebagai sesuatu yang
faktual. Kaau ilmu menuju kepada yang aktual. Karena itulah maka seni merupakan
penghayatan terdekat dari manusia kepada alam.
Sebagai
suatu hasil penghayatan, maka seni adalah sebuah realitas baru yang unik yang
hanya bisa “dimengerti” bila kita telah berhasil menghayati nilai-nilai dari
realitas itu yang bersifat unik, khas dirinya. Maka seorang kritikus seni yang
mau “mengerti” sebuah karya seni, tidak punya suatu metode yang universal yang
dapat dijadikan alat untuk membedakan karya tersebut. setiap kali dia
menghadapi sebuah karya seni, setiap kali pula dia harus secara kreatif mencari
sebuah alat untuk membedakannya. Akibatnya, sikap yang terbaik bagi seorang
kritikus dalam menghadapi sebuah karya seni, ialah membuka diri seluas-luasnya,
seperti yang dikatakan oleh Henri Bergson ......”membuat tidur kekuatan aktif dan daya melawan kepribadian kita dan
membiarkan diri terbawa ke suatu keadaan perfect resposiveness”. Kita
membiarkan karya itu berbicara sendiri, sebelum ada suatu sikap a priori dari
kita, untuk kemudian membiarkan diri terlibat dalam suatu interferensi dinamis.
Hanya dengan sikap seperti inilah kita akan berhasil menangkap keunikan sebuah
karya seni.
V
Adanya
faktor personal dalam sebuah karya seni melalui sebuah proses interferensi
dinamis inilah yang membuatnya berbeda dengan penyorotan karya seni dengan
memakai sebuah konsepsi a priori. Misalnya mau menyorot unsur-unsur simbolik
dari karya Chairil Anwar. Unsur-unsur simbolik adalah sebuah konsep a priori
yang dipakai sebagai alat pembedahan. Maka terjadilah pembedahan. Puisi Chairil
Anwar tidak dibiarkan berbicara sebagai subyek merdeka yang hidup, melainkan
disuruh diam, tidak bergerak, berhenti mengalir, kemudian dicungkili apa yang
mau dicarinya. Di sini sang kritikus “aktif” sedang sang karya seni dipasifkan
menjadi sebuah kadaver di atas meja bedah. Kemudian dicari lagi konsepsi a
priori yang lain, misalnya maalah retorik dalam karya-karya Chairil Anwar.
Kemudian dicari lainnya lagi dan seterusnya. Hasil-hasil cukilan tersebut
akhirnya dikumpulkan bersama dan dibuat kesimpulan daripadanya. Inilah metode
yang sering digunakan dalam kritik sastra kita dewasa ini. Metode ini dapat
kita sebut sebagai “metode analisis”, karena sifatnya yang mengutamakan analisa
sebelum ada penghayatan totalitas. Di sini tidak terjadi interferensi dinamis
antara dua subyek yang merdeka, melainkan sebuah hubungan dari seorang subyek
yang merdeka dan subyek lain yang tidak merdeka.
VI
Metode
kritik seni Ganzheit sebenarnya telah
dijalankan secara hampir sempurna pada musik. Pada musik, penghayatan total
lebih mudah terjadi karena elemen-elemen musik adalah rangsangan-rangsangan
“abstrak” yang tidak berdiri sendiri. Karena itu, dalam menghadapi sebuah karya
seni musik, orang secara spontan melalukan approach
yang langsung menuju kepada penghayatan total dan bukan melalui penghayatan
elemen. Kepada sebuah karya musik, orang segera mendengarkan, “Membuat tidur
kekuatan aktif dan daya melawan kepribadian kita”, sehingga terjadi sebuah
interferensi dinamis dan baru sesudah selesai mendengarkan seluruh lagu itu,
dia berkata, “aku suka” atau “aku tidak suka”.
Pada
seni lukis, dalam unit waktu yang sama kita segera dihidangkan sebuah
totalitas. Dan elemen sebuah karya seni lukis sebenarnya juga adalah “abstrak”
dan tidak berdiri sendiri, yakni warna. Tetapi orang telah terbiasa
mencampurkan antara gambar dan lukisan. Sebuah gambar adalah copy dari alam secara fisis. Sedangkan
sebuah lukisan merupakan sebuah response konkrit
dan menolak penggunaan alat-alat yang memakai prinsip mekaninistik yang
universal. Metode Ganzheit dalam
kritik seni adalah metode yang mengakui keunikan tiap-tiap ciptaan seni dan
mengakui dunia merdeka yang hidup dari manusia-manusia yang menghayati. Metode Ganzheit dalam kritik seni adalah
interferensi dinamis dari kedudukannya.
Jakarta,
April 1968.
Diambil
dari tentang Kritik Sastra: Sebuah
Diskusi, Editor Lukman Ali.
Diterbitkan
oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta 1978.
S U M B E R :
Drs.
Atar Semi, Kritik Sastra
Penerbit
ANGKASA Bandung 1984
Posted
by Drs. Slamet Priyadi
Minggu,
10 Juni 2018-19:47 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar