Minggu, 10 Juni 2018

METODE GANZHET DALAM KRITIK SENI Oleh :Arief Budiman

Ki Slamet Blog - Sajak Puisi Ki Slaet
Senin, 11 Juni 2018 - 02:34 WIB

Lukisan Sang Maestro Afandi

 
I

Adalah aliran psikologi Gestalt yang menyatakan bahwa suatu keseluruhan/totalitas memiliki kualitas baru yang tidak sama dengan jumlah semua elemen-elemenya.

Kalau kita memandang dalam kehidupan sehari-hari, maka nyata benar pernyataan di atas. Kita sering membaca sebuah kata tanpa kita sadar bahwa pada kata itu ada sebuah huruf yang hilang atau salah cetak. Kita mengenal sebuah wajah secara intim sekali, tetapi bila pada suatu saat timbul pertanyaan bagaimana bentuk bibir atau hidung dari wajah tersebut secara tepat, maka kita akan cukup sibuk untuk mencoba merekonstruksikan kembali bentuk-bentuk bibir atau hidung yang dinyatakan tersebut. bahkan kemungkinan besar kita gagal untuk memenuhi permintaan itu. Padahal, kita sudah benar-benar sudah kenal dengan wajah tersebut.

Atau pada sebuah lagu. Ambillah sebuah lagu yang telah kita kenal benar-benar yang dapat kita lagukan satu demi satu nada-nadanya sambil kita setengah tidur. Dan sekarang cobalah nada-nada dari lagu yang telah kita kenal itu, kita susun secara baik, dari belakang ke permulaan, maka akan kita dapati betapa susah melakukan hal ini. Dan kemungkinan besarvkita gagal sama sekali. Pdahal kita sudah benar-benar kenal lagu itu.

Semua ini karena pada hakekatnya, yang kita hayati ialah sebuah totalitas. Sebuah totalitas bukanlah elemen yang kita susun satu persatu. Sebuah totalitas langsung kita hayati sebagai keseluruhan, bukan melalui penghayatan elemen-elemennya satu persatu. Sebuah wajah bukanlah kita hayati dengan menghayati hidungnya, kemudian kita tambah dengan dengan penghayatan pada matanyakemudian lainnya lagi. Sebuah lagu tidak kita hayati melalui nada yang pertama ditambah dengan nada yang kedua dan seterusnya. Kita berhadapan langsung secara keseluruhan dan kita menghayati langsung sebagai sebuah keseluruhan. Elemen-elemennya, secara dinamis mengadakan interferensi yang menghasilkan sebuah kualitas baru. Kualitas baru inilah yang langsung kita hayati, yang kita tangkap pertama. Elemen baru muncul pada tahap kedua, setelah kita mengadakan refleksi dan analisa.

II
Elemen yang muncul sebagaai tahap kedua penghayatan, melalui refleksi dan analisa, bukanlah elemen dengan kualitas universal. Elemen dalam hubungan dengan totalitas, telah mendapatkan artinya yang baru. Elemen itu telah berubah. Elemen itu telah menjadi elemen fungsional yang hanya bisa hayati secara tepat sebagaimana dia menggejala kalau kita tidak melepaskannya dari fungsi dinamisnya dengan ke “ada” bersamaannya.

Cobalah bayangkan dua buah lagu, katakan saja lagu “Indonesia Raya” dan lagu “Padamu Negeri”. Kita ambil sebuah nada yang “sama”, misalnya nada sol. Nada sol yang kita ambil dari lagu yang pertama jelas tidak sama dengan nada sol yang kita ambil dari lagu kedua. Yang pertama misalnya berfungsi memperkuat suasana bersemangat yang ada pada lagu itu, yang kedua justru berfungsi untuk memberikan kelainan dengan nada sol dari baris kedua lagu yang pertama. Padahal secara ilmu fisika, nada sol itu dibunyikan secara sama, jumlah getarannya setiap detik sama. Tetapi dalam suatu interferensi dinamik dalam sebuah lagu, keduanya telah memperoleh fungsi baru karena itu tidaklah sama. Keseluruhan/totalitas telah memberikan warna yang lain.

Demikianlah, sebuah elemen yang terlepas dari sebuah totalitas, akan merupakan totalitas sendiri yang akan memberikan kualitas yang lain daripada kualitas bila elemen itu ada bersama dalam sebuah totalitas yang baru. Singkatnya, sebuah elemen mendapatkan artinya sendiri-sendiri dari dalam totalitas dimana dia mendinamik.

III
Beberapa buah nada yang saling mengadakan interferensi dinamis melahirkan sebuah kualitas total yang bernama lagu, yang lain adalah dari jumlah semua nada-nadanya. Dan sebuah lagu yang mengadakan interferensi dinamis dengan seorang manusia yang menghayati, juga melahirkan kembali sebuah totalitas baru yang lain. Demikianlah, penghayatan tiap-tiap manusia pada sebuah lagu yang sama, ternyata bisa berlainan. Setiap penghayatan merupakan sebuah rekreasi, menciptakan kembali dari karya seni yang dihayatinya. Ini juga berlaku dalam penghayatan biasa terhadap obyek-obyek yang biasa. Setiap penghayatan adalah unik, yang berbeda-beda secara kualitatif, dari orang yang normal sampai kepada mereka yang mengalami gangguan kejiwaan. Inilah prinsip dari aliran Psikologis Gestalt. Yang mengikutsertakan faktor manusia yang menghayati sebagai elemen yang turut mengadakan interferensi dinamis dalam menyusun kualitas total yang baru.

Dengan demikian sebuah penghayatan merupakan sebuah pertemuan. Sebuah pertemuan dinamis antara manusia yang menghayati dengan obyek yang dihayati. Sebuah penghayatan adalah sebuah penyatuan yang melahirkan sebuah dunia unik. Subyek dan obyek, atau lebih tepat dikatakan kwasi subyek dan kwasi obyek, muncul dalam tahap kedua, setelah refleksi dan analisa. Penghayatan sendiri adalah suatu kesatuan di mana subyek dan obyek melebur dan membentuk suatu dunia yang unik.

IV
Ernest Cassier menyatakan bahwa ilmu (science) berusaha menyederhanakan kenyataan untuk menemukan prinsip yang umum, sedangkan seni berusaha mengintensifir dan mengkonsentrir kenyataan, untuk menemukan gejala-gejala sebagai sesuatu yang faktual. Kaau ilmu menuju kepada yang aktual. Karena itulah maka seni merupakan penghayatan terdekat dari manusia kepada alam.

Sebagai suatu hasil penghayatan, maka seni adalah sebuah realitas baru yang unik yang hanya bisa “dimengerti” bila kita telah berhasil menghayati nilai-nilai dari realitas itu yang bersifat unik, khas dirinya. Maka seorang kritikus seni yang mau “mengerti” sebuah karya seni, tidak punya suatu metode yang universal yang dapat dijadikan alat untuk membedakan karya tersebut. setiap kali dia menghadapi sebuah karya seni, setiap kali pula dia harus secara kreatif mencari sebuah alat untuk membedakannya. Akibatnya, sikap yang terbaik bagi seorang kritikus dalam menghadapi sebuah karya seni, ialah membuka diri seluas-luasnya, seperti yang dikatakan oleh Henri Bergson ......”membuat tidur kekuatan aktif dan daya melawan kepribadian kita dan membiarkan diri terbawa ke suatu keadaan perfect resposiveness”. Kita membiarkan karya itu berbicara sendiri, sebelum ada suatu sikap a priori dari kita, untuk kemudian membiarkan diri terlibat dalam suatu interferensi dinamis. Hanya dengan sikap seperti inilah kita akan berhasil menangkap keunikan sebuah karya seni.

V
Adanya faktor personal dalam sebuah karya seni melalui sebuah proses interferensi dinamis inilah yang membuatnya berbeda dengan penyorotan karya seni dengan memakai sebuah konsepsi a priori. Misalnya mau menyorot unsur-unsur simbolik dari karya Chairil Anwar. Unsur-unsur simbolik adalah sebuah konsep a priori yang dipakai sebagai alat pembedahan. Maka terjadilah pembedahan. Puisi Chairil Anwar tidak dibiarkan berbicara sebagai subyek merdeka yang hidup, melainkan disuruh diam, tidak bergerak, berhenti mengalir, kemudian dicungkili apa yang mau dicarinya. Di sini sang kritikus “aktif” sedang sang karya seni dipasifkan menjadi sebuah kadaver di atas meja bedah. Kemudian dicari lagi konsepsi a priori yang lain, misalnya maalah retorik dalam karya-karya Chairil Anwar. Kemudian dicari lainnya lagi dan seterusnya. Hasil-hasil cukilan tersebut akhirnya dikumpulkan bersama dan dibuat kesimpulan daripadanya. Inilah metode yang sering digunakan dalam kritik sastra kita dewasa ini. Metode ini dapat kita sebut sebagai “metode analisis”, karena sifatnya yang mengutamakan analisa sebelum ada penghayatan totalitas. Di sini tidak terjadi interferensi dinamis antara dua subyek yang merdeka, melainkan sebuah hubungan dari seorang subyek yang merdeka dan subyek lain yang tidak merdeka.

VI
Metode kritik seni Ganzheit sebenarnya telah dijalankan secara hampir sempurna pada musik. Pada musik, penghayatan total lebih mudah terjadi karena elemen-elemen musik adalah rangsangan-rangsangan “abstrak” yang tidak berdiri sendiri. Karena itu, dalam menghadapi sebuah karya seni musik, orang secara spontan melalukan approach yang langsung menuju kepada penghayatan total dan bukan melalui penghayatan elemen. Kepada sebuah karya musik, orang segera mendengarkan, “Membuat tidur kekuatan aktif dan daya melawan kepribadian kita”, sehingga terjadi sebuah interferensi dinamis dan baru sesudah selesai mendengarkan seluruh lagu itu, dia berkata, “aku suka” atau “aku tidak suka”.

Pada seni lukis, dalam unit waktu yang sama kita segera dihidangkan sebuah totalitas. Dan elemen sebuah karya seni lukis sebenarnya juga adalah “abstrak” dan tidak berdiri sendiri, yakni warna. Tetapi orang telah terbiasa mencampurkan antara gambar dan lukisan. Sebuah gambar adalah copy dari alam secara fisis. Sedangkan sebuah lukisan merupakan sebuah response konkrit dan menolak penggunaan alat-alat yang memakai prinsip mekaninistik yang universal. Metode Ganzheit dalam kritik seni adalah metode yang mengakui keunikan tiap-tiap ciptaan seni dan mengakui dunia merdeka yang hidup dari manusia-manusia yang menghayati. Metode Ganzheit dalam kritik seni adalah interferensi dinamis dari kedudukannya.

Jakarta,  April  1968.
Diambil dari tentang Kritik Sastra: Sebuah Diskusi, Editor Lukman Ali.
Diterbitkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta 1978.

S U M B E R :
Drs. Atar Semi, Kritik Sastra
Penerbit ANGKASA Bandung 1984
Posted by Drs. Slamet Priyadi
Minggu, 10 Juni 2018-19:47 WIB
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar