Blog Ki Slamet 42 : Sajak Puisi Slamet Priyadi
Senin, 21 Januari 2019 - 05:45 WIB
Senin, 21 Januari 2019 - 05:45 WIB
Buku Kritik Sastra |
BAB IV
SOSIOLOGI SASTRA
DALAM KERANGKA
KRITIK SASTRA
Sosiologi sastra merupakan merupakan
bagian mutlak dari kritik sastra. Ia mengkhususkan dalam menelaah sastra dengan
memperhatikan segi-segi sosial kemasyarakatan. Produk telaahan itu dengan
sendirinya dapat digolongkan ke dalam produk kritik sastra.
A.
Pengertian Sosiologi Sastra
Sosiologi adalah
suatu telaah yang obyektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat dan
tentangsosial dan proses sosial. sosiologi menelaah tentang bagaimana
masyarakat itu tumbuh dan berkembang. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial
dari segala masalah perekonomian, keagamaan, politik, dan lain-lain, kita
mendapat gambaran tentang cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan
lingkungannya, mekanisme kemasyarakatannya, serta proses pembudayaannya.
Sastra, sebagaimana halnya dengan sosiologi, berurusan dengan manusia, bahkan
sastra diciptakan oleh anggota masyarakat untuk dinikmati, dipahami, dan
dimanfaarkan oleh masyarakat. Sastrawan itu sendiri adalah anggota masyarakat;
ia terikat oleh status sosial tertentu. Sastra adalah lembaga sosial yang
menggunakan bahasa sebagai mediumnya; bahasa itu merupakan ciptaan sosial yang
menampilkan gambaran kehidupan. Oleh sebab itu, sesungguhnya sosiologi dan
sastra itu memperjuangkan masalah yang sama. Kedua-duanya berurusan dengan
masalah sosial, ekonomi, politik.
Perbedaan antara
keduanya (Supardi: 1978) adalah bahwa sosiologi melakukan analisis ilmiah yang
obyektif, sedangkan novel menyusup menembus permukaan kehidupan sosial dan
menunjukkan cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya. Adanya
analisisilmiah yang obyektif ini menyebabkan bahwa seandainya ada dua orang
ahli sosiologi mengadakan penelitian atas suatu masyarakat yang sama, hasil
penelitian itu besar kemungkinan menunjukkan persamaan juga. Sedangkan
seandainya ada dua orang novelis menulis tentang suatu masyarakat yang sama,
hasilnya cenderung berbeda sebab cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan
perasaannya itu berbeda-beda menurut pandangan tiap orang. Sedangkan menurut
Prof. Awang Salleh (1980), sosiologi bersifat kognitif sedangkan sastra
bersifat afektif.
Karena persamaan
obyek yang digarap, wajarlah kalau ada ahli yang meramalkan bahwa pada akhirnya
nanti sosiologi dapat menggantikan kedudukan novel. Mungkin pendapat itu muncul
didorong olah pesatnya pertumbuhan dan perkembangan sosiologi dewasa ini di
samping adanya anggapan bahwa novel akan atau telah mati. Tetapi suatu hal yang
jelas adalah bahwa sastra mempunyai kekhasan sendiri yang tidak dimiliki oleh
sosiologi, oleh karenanya tampak kedua-duanya memiliki kemungkinan yang sama
untuk terus berkembang, dan tidak mustahil pula kedudukan dapat saling bekerja
sama, saling melengkapi.
Sosiologi sastra,
adalah suatu telaah sosiologis terhadap suatu karya sastra. Telaah sosiologi
ini mempunyai tiga kualifikasi (Welek dan Warren: 1956) yaitu :
a.
Sosiologi pengarang: yang mempermamasalahkan tentang status sosial, idiologi
politik, dan lain-lain yang menyangkut diri pengarang;
b.
Sosiologi karya sastra:
yakni memasalahkan tentang suatu karya sastra; yang menjadi pokok
telaahan adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa
tujuan atau amanat yang hendak disampaikannya;
c.
Sosiologi sastra: yang memasalahkan tentang
pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat.
Bagan tersebut hampir sama dengan bagan yang di buat oleh
Ian Watt (Sapardi 1978) dengan melihat hubungan timbal-balik antara sastrwan,
sastra, dan masyarakat. Oleh sebab itu telaah sosiologis suatu karya sastra
akan mencakup tiga hal :
a.
Konteks sosial pengarang, yakni yang menyangkut posisi sosial
masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca, termasuk di dalamnya
faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi si pengarang sebagai perseorangan
di samping mempengaruhi isi karya sastranya.
b.
Sastra sebagai cermin masyarakat, yang ditelaah adalah sampai sejauh
mana sastra dianggap sebagaipencerminan keadaan masyarakat.
c.
Fungsi sosial sastra, dalam hal ini ditelaah sampai berapa jauh nilai sastra
berkaitan dengan nilai sosial, dan sampai seberapa jauh pula sastra dapat
berfungsi sebagai alat penghibur dan sekaligus sebagai pendidikan bagi masyarakat
pembaca.
Dari skema atau klasifikasi di atas
dapa diperoleh gambaran bahwa sosiologi sastra, yang merupakan pendekatan
terhadap sastra dengan mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan, mempunyai
skop yang luas, beragam dan rumit, yang menyangkut tentang pengarang, karyanya,
serta pembacanya.
B.
Sastra Masyarakat, dan Kebudayaan.
Sastra merupakan
bagian dari kebudayaan. Bila kita mengkaji kebudayaan kita tidak dapat
melihatnya sebagai sesuatu yang statis, yang tidak berubah, tetapi merupakan
sesuatu yang dinamis, yang senantiasa berubah. Hubungan antara kebudayaan dan
masyarakat itu amatlah erat, karena kebudayaan itu sendiri , menurut pandangan
antropolog, adalah cara suatu kumpulan manusia atau masyarakat mengadakan
sistem nilai, yaitu berupa aturan yang menentukan sesuatu benda perbuatan lebih
tinggi nilainya, lebih dikehendaki, dari yang lain. Kebanyakan ahli antropologi
melihat kebudayaan itu sebagai satu keseluruhan, di mana sistem sosial itu
sendiri adalah sebagian dari kebudayaan. Singkatnya kebudayaan itu dikatakan
sebagai cara hidup, yaitu bagaimana suatu masyarakat itu mengatur hidupnya.
Kebudayaan itu
memiliki tiga unsur :
1.
Unsur sistem sosial,
Sistem sosial ini terdiri daripada; sistem kekeluargaan, sistem
politik, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, , sistem pendidikan, dan sistem
undang-undang. Terdapat struktur dalam setiap sistem ini yang dikenal sebagai
institusi sosial, yaitu cara manusia yang hidup berkelompok mengatur hubungan
antara satu dengan yang lain dalam jalinan hidup bermasyarakat.
2.
Sistem nilai dan ide,
Yaitu sistem yang memberi makna
kepada kehidupan bermasyarakat, bukan saja terhadap alam sekeliling, bahkan
juga terhadap falsafah hidup masyarakat itu. Sistem nilai juga menyangkut upaya
bagaimana kita menentukan sesuatu lebih berharga berharga dari yang lain;
sementara sistem ide merupakan pengetahuan dan kepercayaan yang terdapat dalam
masyarakat.
3.
Peralatan budaya,
Yaitu penciptaan material yang berupa
perkakas dan peralatan yang diperlukan untuk menunjang kehidupan.
Kesusastraan sebagai ekspresi atau pernyataan kebudayaan akan mencerminkan
pula ketiga unsur kebudayaan seperti seperti yang dikemukakan di atas;
1.
Kesusastraan mencerminkan sistem
sosial yang ada dalam masyarakat, sistem kekerabatan, sistem ekonomi, sistem politik,
sistem pendidikan, sistem kepercayaan yang terdapt dalam masyarakat yang
bersangkutan.
2.
Kesusastraan mencerminkan ide dan
sistem nilai, menggambarkan tentang apa yang dikehendaki dan apa yang ditolak;
bahkan karya sastra itu sendiri sebagai obyek penilaian yang dilakukan anggota
masyarakat. Orang dapat mengatakan novel ini lebih baik dari novel itu, dan
seterusnya.
3.
Bagaimana mutu peralatan kebudayaan
yang ada dalam masyarakat tercermin pula pada bentuk peralatan tulis menulis
yang digunakan dalam mengembangkan sastra.
Selain unsur kebudayaan, perlu pula disinggung di sini sifat kebudayaan
yang dirumuskan oleh para ahli antropologi, yaitu sebagai berikut,
1.
Kebudayaan merupakan sesuatu yang
berkesinambungan, sesuatu yang diwariskan, sesuatu yang saling mempengaruhi,
sesuatu yang selalu berubah.
2.
Kebudayaan itu merupakan suatu sistem
lambang, artinya manusia mempunyai kebolehan berkomunikasi dengan menggunakan
lambang-lambang. Bahasa itu sendiri merupakan sistem lambang. Sebenarnya
kesusastraan juga boleh dikatakan sistem lambang bukan karena kesustraan itu
menggunakan bahasa, tetapi di dalam mengolah suatu novel atau puisi sebenarnya
yang terakhir adalah lambang kehidupan kita.
3.
Kebudayaan itu relatif, artinya
setiap masyarakat mempunyai kebudayaan sendiri yang memiliki ketiga unsur di
atas, yang mempunyai ciri khas sendiri yang membedakannya dengan kebudayaan
yang lain. Karena kerelatifan ini kita tidak dapat mengatakan suatu kebudayaan
lebih tinggi dari kebudayaan yang lain. Kita hanya dapat menafsirkan suatu
kebuyaan hanya berdasarkan sistem nilainya sendiri.
Bila ciri kebudayaan itu kita letakkan pada sastra dan kita kaitkan pula
dengan masyarakat yang menggunakan sastra itu, maka kita dapat mengatakan bahwa
nilai suatu sastra itu pada umumnya terletak pada masyarakat itu sendiri.
Kesusastraan itu pada dasarnya bukan saja mempunyai fungsi dalam masyarakat,
tetapi juga mencerminkan dan menyatakan segi-segi yang kadang-kadang kurang
jelas terlihat dalam masyarakat. Sebagamana juga dengan karya seni yang lain,
sastra mempunyai fungsi sosial dan fungsi estetika
.
Fungsi sosial sastra adalah keterlibatan sastra dalam kehidupan sosial,
ekonomi, politik, etik, kepercayaan dan lain-lain. Fungsi estetika sastra
adalah penampilan karya sastra yang dapat memberi kenikmatan dan rasa keindahan
bagi pembacanya. Kedua fungsi ini pada umumnya terjalin dengan baik.
Memperhatikan fungsi sosial dan estetika dalam suatu karya sastra sebaiknya
kita hubungkan dengan ciri-ciri simbolisme atau perlambangan dalam sastra.
kalau kita perhatikan cerita rakyat, misalnya, mungkin kita dapat menerimanya
sebagai suatu pencerminan kehidupan nyata, kita anggap sebagai dongeng semata,
kalau hal itu tidak kita lihat dalam konteks tata nilai yang berlaku di
masyarakat tempat kesusastraan itu tumbuh dan berkembang. Kita menemui dalam
berbagai cerita rakyat atau dalam kesusastraan lama penggambaran putri raja
selalu dan mesti cantik, anak raja yang selalu gagah dan perkasa, atau adanya
putri-putri cantik yang turun dari kayangan, mungkin kita tidak percaya bahwa
hal itu fungsional bagi kehidupan masyarakatnya. Kita harus menyadari bahwa
melalui perlambangan tadi rakyat ditanam dengan imaji bahwa raja-raja itu
mempunyai tempatnya sendiri, yang berbeda dengan rakyat biasa. Maka fungsi perlambangan
semacam ini jelas mengait kepada kehidupan kebudayaan masyarakat.
Bagaimana halnya menghadapi sastra modern ? beberapa persoalan timbul,
terutama terutama disebabkan sastra modern merupakan olahan perorangan.
Walaupun merupakan produk perseoranga namun sastrawan itu sendiri merupakan
bagian masyarakat umum, dan ia tidak dapat melepaskan diri dari lingkungan
budayanya. Seorang seniman bukanlah serang yang terpencil, ia tidak dapat
mengelakkan kehadirannya di tengah-tengah yang lain; karena itu ia lahir dan
berfungsi di tengah masyarakatnya. Walaupun kadang-kadang kita susah memahami
suatu karya seni, tetapi itu harus dimaklumi, karena hakekat kebudayaan sesuatu
yang homogen dan relatif.
Bila kita menggunakan konsep kebudayaan tadi, maka sastra sebagai ekspresi
kebudayaan akan mencerminkan pula adanya perubahan-perubahan dalam masyarakat,
akan mengenal adanya kesinambungan antara yang satu dengan yang lain, akan
mengenal adanya pewarisan antara yang lama kepada yang baru. Baik disadari
maupun tidak.
Masyarakat Indonesia sedang tumbuh dan berkembang, begitu pula
kebudayaannya, termasuk di dalamnya kesustraan Indonesia. Keseluruhan
kesusastraan Indonesia sekarang tidak sama dengan keseluruhan kesusastraan
Indonesia di tahun limapuluhan, empatpuluhan, atau tigapuluhan. Dengan
perkembangan itu fungsi dan nilai sastra bagi masyarakat pun tumbuh dan
berkembang. Tanggung jawab yang diberikan kepada para sastrawan semakin besar,
mereka tidak cukup hanya mengetahui aspek-aspek yang membangun sastra saja bila
ingin menghasilkan karya yang bermutu, tetapi harus dibarengi dengan
pengetahuan tentang bidang biologi, psikologi, falsafah, dan kebudayaan.
Pengetahuan sosiologi dan psikologi dapat mempertajam persepsi mereka tentang
manusia yang dikisahkan.
Perkembangan masyarakat dan kebudayaan kita semakin lama semakin besar dan
kompleks, demikian pula halnya dengan sastra. Dalam masyarakat lama yang amat
kecil dan sederhana, setiap individu melakukan kegiatan dan disetujui semua dan
untuk kepentingn semua. Malahan tindakan spontan seorang seniman pun harus
berlaku dalam pola-pola atau bentuk yang diakui oleh sekalian anggota golongan.
Jadi sudah ada semacam persetujuan masyarakat tentang nilai-nilai dan
norma-norma yang mengatur tingkah laku dan bentuk ciptaan senimannya. Tetapi
setelah masyarakat menjadi besar, timbullah banyak perbedaan di antara anggota
masyarakat, malahan kesenian pun cenderung untuk membentuk suatu otonomi,
semacam aktifitas yang terpisah, yang membentuk kelompok sendiri. Dalam kondisi
semacam ini sastra harus dapat tumbuh subur di tengah masyarakat, tentu saja
dengan jalan penciptaan sastra yang benar-benar memperhatikan dan
memperhitungkan kondisi sosial kultural yang ada.
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa antara masyarakat,
kebudayaan, dan sastra merupakan suatu jalinan yang kuat yang satu dengan
lainnya saling memberi pengaruh, saling membutuhkan, dan saling
tentu-menentukan dalam pertumbuhan dan perkembangannya.
C.
Pemanfaatan Pendekatan Sosiologis.
Penggunaan pendekatan sosiologis dalam melakukan kritik sastra tidak
kurang mendapat serangan pedas daripada kritikus sastra. Salah satu serangan
itu dilancarkan oleh Wellek dan Warren (1956) yang mengatakann bahwa pendekatan
susiologis atau pendekatan ekstrinsik
biasanya mempermasalahkan sesuatu di seputar sastra dan masyarakat bersifat sempit dan eksternal. Yang
dipersoalka biasanya mengenai hubungan sastra dan situasi sosial tertentu,
sistem ekonomi, sosial, adat-istiadat, dan politik. Pendekatan sosiologis
semacam itu terutama dianut dan dilakukan oleh kritikus yang meyakini suatu
filsafat sosial tertentu, misalnya para kritikus Marxis, yang telah memiliki
sikap tertentu terhadap hubungan sastra dan masyarakat, sehingga sering yang
mereka lakukan bukanlah kritik sastra, melainkan penghakiman yang didasarkan atas kriteria sosial politik yang
sifatnya non sastra.
Ada anggapan, bahwa sastra sebagai karya seni yang menggambarkan
masyarakat cenderung untuk mengalihkan fungsi sastra menjadi “propaganda”. Hal
itu dapat berakibat segi-segi teknik dan seni diabaikan. Ada pula yang
beranggapan, kalau sastra tidak memperhatikan apa yang tumbuh dan hidup di
masyarakat dapat menyebabkan sastra kehilangan fungsi sosialnya, kehilangan
nilai didaktiknya.
Apakah suatu karya sastra menjadi cermin keadaan masyarakat di mana dia
dilahirkan ? pada umumnya memang begitu, tetaapi hal itu tidak harus. Ignas
Kleden (1981) menyebutkan: sastra adalah karya individual yang didasarkan pada
kebebasan mencipta dan dikembangkan lewat imajinasi. Dia pertama-tama, karena
merupakan cermin diri sang pengarang itu sendiri: persoalan dan motif-motif
pribadinya. Bila dia kebetulan mengucapkan suatu keadaan umum masyarakat, maka
hanya lantaran persoalan umum itu kini terasa sebagai masalah pribadinya
sendiri. Hal kedua ialah, karena kemampuannya menembus suatu kurun waktu, dia
juga tidak terikat dengan masa kininya. Persoalan yang digarapnya mungkin belum
terasa aktual sementara ini. tentu saja dengan itu tidak dikatakan, bahwa
sastra seharusnya suatu yang serba asing dari kehidupan masyarakat. Dia dapat juga
menyampaikan beberapa keluhan masyarakat maanya, tetapi itu tanpa pretensi mau
menjadi juru bicara jamannya dalam arti kata yang lengkap.
Jalan pikiran yang dikemukakan Kleden di atas dapat dipahami. Kita dapat
membenarkan pendapat itu, bahwa: karya sastra tidak harus merupakan cetak ulang
dari kenyataan yang ada. Karya sastra seharusnya juga dapat berupa suatu
imajinasi yang menggunakan lingkungan kemasyarakatan sebagai titik tolak, dalam
arti, sastra boleh jadi berupa interpretasi kehidupan, dan boleh jadi pula
suatu ketika akan berupa imitasi kehidupan.
Keterkaitan sastra dengan masyarakat dan keterkaitan masyarakat dengan
sastra dapat menjadi diskusi yang panjang dan tak ada habis-habisnya. Kenyataan
menunjukkan bahwa ada sementara kritikus sastra yang memandang bahwa segi-segi
kemasyarakatan yang terungkap dalam suatu karya sastra merupakan ukuran penting
untuk digunakan, khususnya dalam pemanfaatan kritik sastra di sekolah-sekolah.
Memang terdapat beberapa pengarang yang menggunakan karya sastra sebagai salah
satu tempat memperjuangkan ide kemasyarakannya, antara lain dapat kita sebutkan
Sutan Takdir Alisyahbana, yang dengan gigih memperjuangkan ide pengembangan
tata kemasyarakatan Indonesia baru. Lahirnya karya sastra seperti les Misaraples oleh pengarang Prancis, Victor Hugo, si Milah Bergigi Emas oleh Pramudya
Ananta Toer, atau theis karya Achdiat
Kartamihardja adalah rekaman-rekaman kehidupan kemasyarakatan yang pernah
dilihat atau dialami pengarangnya.
Di samping adanya pendapat yang menentang pendekatan sosiologis, namun
tidak kurang pula jumlah kritukus yang melihat manfaat kritik sastra yang
menggunakan pendekatan sosiologis ini. dengan pedekatan pendekatan sosiologis
orang mungkin dapat menunjukkan sebab-sebab dan latar belakang kelahiran sebuah
karya sastra, bahkan mungkin dapat membuat kritikus agar terhindar dari
kekeliruan tentang hakekat karya sastra yang ditelah, terutama dalam menentukan
fungsi suatu karya sastra dan mengetahui beberapa aspek sosial lain yang harus
diketahui sebelum penelaahan dilakukan. Kritik sosiologis berfungsi deskriptif:
dengan deskripsi kemayarakatan yang melingkupi satu karya satra, sering memberi
bantuan yang besar terhadap keberhasilan suatu kritik sastra yang dilakukan.
Kritik sosiologis juga berfaedah dalam mengembangkan pengetahuan kita
dengan memberikan keterangan tentang, misalnya, mengapa beberapa kelemahan
menjadi ciri khas dalam suatu periode tertentu, mengapa suatu kurun waktu
tertentu memperlihatkan adanya suatu kesamaan, atau mengapa karya-karya Hamka
memperlihatkan suatu suasana yang memancing keharuan ? dengan bantuan sosiologi
sastra hal itu dapat diketahui dan dipahami secar lebih mendalam.
Menurut Umar Yunus, keunggulan novel Telegram
karya Putu Wijaya terletak dalam
kemampuan pengarangnya membuat “pengacauan antara realitas dan imajinasi yang
menyebabkan kecurigaan yang dapat membangun suatu suspens yang meyakinkan, sehingga kita tidak pernah berhenti dari
pertanyaan dan selalu dihadapkan kepada ketiba-tibaan yang tidak dapat diduga
sebelumnya”. Demikian pula halnya dengan novel-novel Iwan Smatupang: ia
tampaknya tidak tunduk dengan aturan-aturan yang berlaku, mereka (Putu dan
Iwan) dengan sadar atau tidak, menunjukkan kemerdekaan manusia untuk menerobos
bata-batas ruang dan waktu.
Dapat dipahami bahwa bilamana seseorang ingin mengetahui keadaan
sosiologis dari suatu masa karya tertentu ditulis, kita memang belum tentu
dapat mengenal tata kemasyarakatan yang ada waktu itu, tetapi setidak-tidaknya
kita dapat mengenal tema-tema mana yang kira-kira dominan pada kurun waktu itu.
Bisa terjadi seorang pengarang dengan motif tertentu mengemukakan sesuatu yang
mungkin keluar dari pola berpikir umum pada waktu itu.
Pengarang-pengarang besar, menurut Sapardi Joko Damono (1978), tidak
sekedar menggambarkan dunia sosial secara mentah. Ia mengemban tugas yang
mendesak:: memainkan tokoh-tokoh ciptaannya itu dalam suatu situasi rekaan agar
mencari nasib mereka sendiri, untuk
selanjutnya menemukan nilai dan makna dalam dunia sosial. sastra karya pengarang
besar melukiskan kecemasan, harapan, dan aspirasi manusia; oleh karena itu
barangkali ia merupakan salah satu barometer sosiologis yang paling efektif
untuk mengukur tanggapan manusia terhadap kekuatan-kekutan sosial. Dan karena
sastra juga akan selalu mencerminkan nilai-nilai dan perasaan sosial, dapat
diramalkan bahwa semakin sulit nantinya mengadakan analisis terdapat sastra
sebagai cermin masyrakat sebab masyarakay semakin menjadi rumit. Dalam-dalam
novel-novel yang ditulis pada abad kedelapan belas di Inggris mungkin masih
dapat ditemukan gambara masyarakat secara utuh; tetapi sementara masyarakat
semakin berkembang dan strutur masyarakat semakin kompleks; dalam novel modern,
gambaran semacam itu sulit ditemukan. Kalapun novel-novel dikatakan mencerminkan
struktur sosial, maka yang didapatkan di dalamnya adalah gambaran masalah
masyarakat secara umum ditilik dari sudut lingkungan tertentu, yang berperan
sebagai mikro kosmos sosial: lingkungan bangsawan, borjuis, seniman,
intelektual, dan lain-lain.
Suatu bahaya yang mungkin timbul dalam menggunakan pendekatan ini adalah
bila pengeritik yang menganut suatu paham politik tertentu mengadakan suatu
telaash terhadap suatu karya sastra yang tidak sejalan dengan aliran politik
yang dianut pengeritik. Hasil yang akan dicapai dapat keluar dari hakekat
kritik sastra yang sesungguhnya, untuk kemudian menjurus kepada pertentangan
paham politik.
Suatu hal yang perlu dipahami dalam melakukan pendekatan sosiologis ini
adalah, bahwa walaupun seorang pengarang melukiskan kondisi sosial yang berada
di lingkungannya, namun belum tentu ia menyuarakan kemauan masyarakatnya, dalam
arti: dia tidaklah mewakili atau menyalurkan keinginan-keinginan kelompok
masyarakat tertentu, yang pasti, dia
hanyalah menyalurkan atau mewakili hatinya sendiri. Dan bila dia
kebetulan mengucapkan sesuatu yang bergolak dalam masyarakatnya, hal itu
merupakan suatu kebetulan belaka atau kebetulan ketajaman batinnya dapat
menangkap isyarat-isyarat itu. Oleh sebab itu seorang pengeritik yang menggunakan
pendekatan sosiologis ini harus berhati-hati dalam mengambil kesimpulan yang
berhubungan dengan partautan antara masa lahir suatu karya sastra dengan tata
kemasyarakatan yang ada di waktu itu,
sebab seperti yang sudah disinggung di atas,, bisa terjadi dengan daya
kreatifitas, pengarang justru mengungkapkan tentang suatu masyarakat yang
diinginkannya.
Pengeritik-pengeritik sastra yang menilai hasil-hasil sastra dengan
menggunakan pendekatan ini tentu akan mempertimbangkan: apakah pengarang dalam
mengungkapkan segi-segi kemasyarakatan itu dilakukan dengan cara yang menarik,
dalam arti dia mampu menarik hati pembacanya untuk merasakan apa yang
dipersoalkannya atau dapat membuat pembaca merenung dan memikirkannya. Dan
sebagai sebuah hasil seni, pengeritik tentunya akan melihat sejauh mana
pengarang dapat menjalin dokumentasi sosialnya sehingga menjadi suatu karya
yang mempunyai nilai seni dan kemasyarakatan yang besar.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa pendekatan sosiologis
mempunyai segi-segi yang bermanfaat dan berdaya duna tinggi bila para kritikus
sendiri tidak melupakan atau memperhatikan segi-segi instinsik yang membangun
karya satra, di samping memperhatikan faktor-faktor sosiologisnya, serta
menyadari bahwa karya sastra itu diciptakan oleh suatu kreatifitas dengan
memanfaatkan faktor imajinasi.
D.
Pertanyaan Pemahaman
1. Kemukakan bagan sosiologi sastra menurut Wellek dan Warre; bagaimana pula
menurut Ian Watt ?
2. Bagaimana hubungan antara sastra dan kebudayaan ?
3. Bagaimana pendapat beberapa kritikus terhadap pendekatan sosiologis dalam
kritik sastra ?
4. Apakah mutlak sastra mencerminkan kehidupan masyarakat ?
Minggu, 20 Januari 2019 – 17:10 WIB
Ki Slamet Priyadi
Di Bumi Pangarakan-Bogor
PUSTAKA :
Drs. Atar Semi, “Kritik
Sastra”
PENERBIT :
Angkasa Bandung
1984