Blog SlametPriyadi: Sajak Puisi Ki Slamet 42
Senin, 05 Nopember 2018 - 05:16 WIB
Senin, 05 Nopember 2018 - 05:16 WIB
Bomantara |
Ki
Slamet Priyadi 42 :
“SANG BOMANTARA”
Pupuh
XIX ( 1-46 )
19. Raden Samba Jumpa Begawan
Wisa Dewa
(1)
Alkisah setelah Raden Samba Prawirajaya
bermanja
Dengan Dewi Tunjung Sari, maka menyuruh
semua
Menteri, hulubalang, prajurit dan segala rakyatnya
Untuk segera bersiap-siap kembalilah ke
negerinya
Melaporkan tugasnya kepada Prabu Betara
Kresna
(2)
Maka kedua Patih Suranata, Patih Surama
berkata
Kepada segenap para menteri dan
hulubalangnya:
“Wahai semua prajurit Dwarawati, sekarang
ini juga
Kita berangkat ke Dwarawati kembali ke
negeri kita
Tabuh semua bende dan bunyi-bunyian yang ada!”
(3)
Pendeklah cerita sampailah pasukan Raden
Samba
Pada sebuah dusun yang nampak amat permainya
Di dusun itu ada taman yang asrilah
lingkungannya
Di dalam taman terdapat balai berhiaskan
permata
Betapa indahnya dusun itu bagai di kayangan saja
(4)
Konon dusun itu bernama dusun Tenunan karena
Lokasinya persis di kaki gunung Tenunan di
mana
Banyak begawan pertapa tinggal menetap di
sana
Salah satunya bernama Sang Begawan Wisa Dewa
Yang amat terkenal sebab sikapnya yang
bijaksana
(5)
Pada suatu ketika, dia Sang Begawan Wisa
Dewa
Memberi wejangan kepada para murid-muridnya:
“Wahai kalian semuanya, tuan-tuan para pertapa!
Hendaklah kalian semua sambutlah Raden Samba
Beserta pengawal dan prajuritnya itu barulah
tiba
(6)
Di dusun kita ini, layanilah sebagaimana
mestinya
Jangan sampai dikecewakan karena Raden Samba
Adalah pahlawan kita putera Prabu Betara
Kresna
Yang telah bunuh binasakan para raksasa
denawa
Perusuh yang banyak membunuhi para pertapa!”
(7)
Maka Raden Samba besertalah para pengawalnya
Dan pasukannya yang baru tiba di dusun
pertapa
Disambut amat ramah oleh Begawan Wisa Dewa:
“Raden,
sebaiknya raden beristirahat barang dua
Atau tiga hari di tempat ini, karena
sesungguhnya
(8)
Kami semua para pertapa merasa teramat mulia
Raden beserta para pengawal, prajurit semuanya
Sempatkan singgah di dusun kami para
pertapa!”
Maka Begawan Wisa Dewa pun suruh beberapa
Siswanya ‘tuk segera buatkan jamuan
seperlunya
(9)
Mendengar segala kata-kata Begawan Wisa Dewa
Yang amat bersahabat itu, Raden Samba berserta
Para pengawal dan pasukannya amat suka
hatinya
Berkatalah Raden Samba Prawirajaya:
“Bagaimana
baiknya menurut Paman Begawan , saya ikut
saja!”
(10)
Begawan Wisa Dewa pun sediakanlah secepatnya
Sebuah balai lengkaplah dengan tirai
kelambunya
Khusus untuk istirahat Raden Samba dan
istrinya
Maka selanjutnya, Raden Samba pun membawa
Sang Dewi Tunjung Sari naiklah ke atas balainya
(11)
Kononlah ceritanya, selama tiga hari Raden
Samba
Ada di dusun pertapaan Sang Begawan Wisa
Dewa
Raden Samba bersama-sama dengan Patih Surama
Dan Patih Suranata belajar pula tentang ilmu
sastra
tentang kidung hingga selesai semua
dipelajarinya
(12)
Pendek cerita genap tiga hari sudah Raden
Samba
Beserta segala pengawal, menteri dan pasukannya
Berada di tempat pertapaan Begawan Wisa Dewa
Maka keesokan harinya Raden Samba
Prawirajaya
Bermohon
diri kepada Sang Begawan Wisa Dewa:
(13)
“Paman Begawan, saya dan segenap prajurit
semua
Bermohon diri hendak lanjutkan perjalanan
segera,
Dan kami ucapkan terimakasih yang tak
terhingga
Atas perjamuan yang amatlah memuaskan adanya.”
Begawan Wisa Dewa pun berkata: ”Raden Samba,
(14)
Kami pun atas nama para pertapa berucaplah
kata
Terimakasih yang tak terhingga pada Raden
Samba
Beserta para pengawal, menteri hulubalang
semua
Karena Raden yang telah melindungi para
pertapa
Dari kekejaman para raksasa denawa
Trajutrisna!”
(15)
“Janganlah Paman berkata demikian, oleh
karena
Itu sudahlah menjadi kewajiban saya selaku
putra
Penguasa wilayah ini untuk melindungi
rakyatnya
Dari bermacamlah rongrongan keamanan negara
Yang membuat momok ketakutan bagi
rakyatnya!”
(15)
Setelah berkata demikian Raden Samba
Prawirajaya
Titahkanlah Patih Suranata dan Patih Surama
segera
Mengerahkan segala menteri, hulubalang
semuanya
Untuk mulailah bergerak berangkatlah sekarang
juga
Maka Raden Samba izin kepada Begawan Wisa
Dewa:
(16)
“Kami mohonlah kepada Paman Begawan Wisa
Dewa
Untuk kembali ke Dwarawati melapor pada
Ayahanda
Prabu Betara Kresna tugas tumpas raksasa
denawa !”
Jawablah Begawan Wisa Dewa:“Wahai Raden
Samba,
Belum puas rasanya paman menjamu Raden Samba
(17)
Karena Raden
putera raja besar Prabu Betara Kresna
Radenlah orang yang telah peliharakan para
pertapa!”
Maka kemudian berkatalah Raden Samba Prawirajaya:
“Wahai paman, tiga hari saya berada di Dusun
Pertapa
Dilayani makan dan minum dengan teramat suka
cita!”
(18)
Di saat itu datanglah Patih Suranata dan
Patih Surama
Menghatur sembah kepada Raden Samba
Prawirajaya
Seraya berkata: “Raden, telah hadir
semuanya, segala
Menteri hulubalang, tinggal tunggu titah
Raden saja!”
“Ya, paman Patih mari kita berangkat
sekarang juga!”
(19)
Raden Samba mohon diri kepada Begawan Wisa
Dewa
Dan juga kepada semua para pertapa yang ada
di sana
lalu mepapah Dewi Tunjung Sari naik ke atas
keretanya
kemudian berangkatlah mereka berjalan
bersama-sama
Sedang Begawan Wisa Dewa kembali ke
pertapaannya
(20)
Alkisah di dalam perjalanan kembali, Raden
Samba
Melewati dataran bukit-bukit hutan rimba belatara
Sampailah di gunung Tenunan maka Raden Samba
Bertitah kepada kedua Patih Suranata dan Surama
Agar beristirahat di tempat yang aman
suasananya
(21)
Setelah menemukan tempat cukup amanlah
dirasa
Patih Suranata dan Patih Surama memberi
aba-aba
Kepada segala menteri, hulubalang, prajurit
semua
Agar istirahat, dan memasang semua tenda-tenda
Setelah selesai, maka beristirahatlah mereka
semua
(22)
Sementara Raden Samba papah sang belahan
jiwa
Sang Dewi Tunjung Sari untuk turun dari
keretanya
Menuju ke tenda utama yang khusus untuk
mereka
Yang berhadap ke arah Gunung Tenunan
posisinya
Indahnya gunung itu buatlah kagum Raden
Samba
(23)
Maka Raden Samba berkata pada Karanda Dewa:
“Paman begawan, marilah kita main-main ke
sana
Ke Gunung Tenunan yang amat permai rupanya!”
“Baik, titah Raden patiklah junjung di atas
kepala.”
Sahutlah Begawan Karanda Dewa dengan segera
(24)
Lalu Raden
Samba menyuruh kepada prajuritnya
Agar menjaga dengan baik sang belahan
jiwanya:
“Hai prajuritku segala menteri hulubalang
semua,
Kalian kawal dan jagalah dengan sebaik-baiknya
Isteriku Dewi Tunjung Sari, karena aku
bersama
(25)
Paman Begawan Karanda Dewa, Patih Suranata,
Akanlah pergi ke atas gunung Tenunan di sana
Dan, itu tiada lama kami akan kembali
segera!”
Pada saat itu lalu datanglah Sang Patih
Surama
Menyembah lalu berkata kepada Raden Samba:
“Ya Raden, apakah patik ini tidaklah turut
serta?”
(26)
Maka kata Raden Samba: “Duh Paman Surama
Jika paman turut serta, siapakah yang
menjaga
Adinda Dewi Tunjung Sari, Dewi Tunjung Maya
Dan Dewi Tunjung Biru? Saya hanyalah percaya
Kepada paman Patih Surama ‘tuk menjaganya!”
(27)
Mendengar kata-kata Raden Samba Prawirajaya
Sang Patih Surama pun hanya diam seribu-basa
Melihat hal ini, Raden Samba pun berkata
pula:
“Ya Paman patih, janganlah Paman ikutlah
serta
Oleh karena kami pergi hanya sebentarlah
saja!”
(28)
Setelah berkata demikian Raden Samba Prawira
Pun bermohonlah diri kepada semua
prajuritnya
Patih Surama, Dewi Tunjung Sari, Tunjung
Maya
Dan Dewi Tunjung Biru, mereka bertiga segera
Naik ke atas gunung Tenunan yang menantinya
(29)
Di atas gunung Tenunan, mereka temukan desa
Bekas orang-orang pertapa maka Raden Samba
Naik ke atas tempat pertapaan itu, dan di sana
Mereka dapati satu dusun asrilah
lingkungannya
Ditumbuhi pohon-pohon yang sedang berbunga
(30)
Melihat itu maka Raden Samba bertanya kepada
Begawan Karanda Dewa: “Paman Karanda Dewa,
Gunung itu sungguhlah indah, apakah
namanya?”
Maka menjawablah Sang Begawan Karanda Dewa:
“Gunung Tenunan, terbesar dari gunung
lainnya.”
(31)
Paman, jika demikian marilah kita pergi ke
sana?”
Ajaklah Raden Samba kepada kedua pengawalnya
Begawan Karanda Dewa dan Sang Patih Suranata
Lalu ketiganya pun berangkatlah, dan di atas
sana
Mereka jumpa sebuah dusun bekas orang
pertapa
(32)
Raden Samba ajaklah kedua pengawalnya ke
sana:
“Paman, hayo kita ke dusun tempat para pertapa!”
Nampak dusun itu kering kerontang keadaannya
Tiada lagi tanda-tanda aktifitas kehidupan
di sana
Pohon-pohon mati laksana dibakarlah api
dahana
(33)
Karenanya, berkatalah Raden Samba
Prawirajaya:
“Hm, nampaknya dusun ini sudahlah terlalu
lama
Ditinggal pergi oleh para orang-orang
pertapa!”
Mendengar itu Begawan Karanda Dewa berkata:
“Jika Raden ingin melihat dusun tempat
pertapa
(34)
Yang lain,
kita bisa naik ke puncak gunung sana
Tetapi pesan patik janganlah sampai Raden
lupa
Agar Raden segera kembali pulang
secepatnya!”
Maka kata Raden Samba: “Jika demikian adanya
Maka kita daki gunung ini sampai ke
puncaknya!”
(35)
Lalu mereka berangkatlah dengan semangatnya
Daki gunung Tenunan hingga tiba di puncaknya
Di sana mereka dapati rumah tiada
penghuninya
Ditinggalkanlah begitu saja oleh sang
pemiliknya
Saat
mereka diserang oleh para raksasa
denawa
(36)
Di halaman rumah itu ada balai indahlah
rupanya
Yang Berhiaskan batu-batu yang beraneka
warna
Dan di depan balai itu terdapatlah pohon bidara
Yang tinggi besar pun teramatlah lebat daunnya
Pintu rumah dihias batu berukir indah
bentuknya
(37)
Ada ukiran berbentuk singa, berbentuklah
garuda
Di atas pintu-kuri ada dua batu putih
berukir pula
Menggambarkanlah seorang laki-laki dan
wanita
Raden Samba pun larut dalam kenikmatan
segala
Keindahan yang terdapat di rumah sang
pertapa
(38)
Lalu Raden Samba masuk ke dalam rumah
pertapa
Lewat pintu-kuri, ternyata di dalam terdapat
istana
Yang terbuat dari batu berhiaslah batu
pancawarna
Di istana itu terdapat pula kolam yang di
tepiannya
Pun ditanami pohon-pohon yang sedang
berbunga
(39)
Maka istana jadi harum semerbak baunya
sehingga
Banyak kumbang-kumbang datang hisaplah
sarinya
Dengung suara sang kumbang bagaikan
nada-nada
Kidung asmaradana ingatkan Raden Samba
Prawira
Pada Dewi Tunjung Sari permaisuri belahan jiwanya
(40)
Kagum akan keindahan istana milik seorang
pertapa
Maka Raden Samba bertanya kepada Karanda
Dewa:
“Paman Begawan Karanda Dewa, siapa pemilik
istana
Seindah ini, siapakah pula sang pembuat
lukisannya?”
Maka seketika
Begawan Karanda Dewa pun berkata:
(41)
“Ya Raden, patik mendengar dari guru patik,
bahwa
Sang Pemilik istana pertapaan ini dan sekaligus
juga
pembuatnya ia adalah Begawan Dewa Darma Dewa
dan
isterinya Dewi Darma Dewi putri Batara Brahma
adapun Dewa Darma Dewa putra Mahawisnu Dewa
(42)
Setelah Raden Samba ketahui dari Begawan
Karanda
Ihwal pemilik dari rumah-puri beserta istana
pertapa
Lalu Raden Samba, Karanda Dewa dan Patih
Surama
Pun masuklah ke dalam taman itu yang didalamnya
Terdapatlah balai gading yang berhias emas
permata
(43)
Balai
gading itu dilengkapi dengan tirai kelambunya
Pada dinding tergantung gambar Dewa Darma
Dewa
Yang wajahnya nampak persis dengan Raden
Samba
Di bawah lukisan terdapat jambangan bunga
hingga
Ruangan balai itu pun harum emerbak bau
wanginya
(44)
Melihat itu Raden Samba jadi teringat akan
isterinya
Dewi Tunjung Sari saat berada di dalam Taman
Tirta
Ketika Raden Samba Prawirajaya melihat pada
geta
Di sana nampaklah ada puan yang di dalamnya
ada
Dua pucuk surat. Surat itu diambil diberikan
kepada
(45)
Begawan Karanda Dewa yang kemudian dibacanya
Selesai surat itu dibaca, Raden Samba lalu
bertanya:
“Paman Begawan, surat itu siapakah yang punya?”
Maka jawab Begawan Karanda Dewa seraya
katanya:
“Raden, suarat ini ditulislah oleh Dewa
Darma Dewa
(46)
Saat beliau duduk di sini, datang Mahawisnu
Dewa
Mengajak Dewa Darma Dewa untuklah menjelma
Menitislah kepada diri Raden Samba Prawirajaya
Adapun Dewi Darma Dewi itu, dia telah
menjelma
Pada diri Dewi Januati istri dari Maharaja
Jantaka!”
Minggu, 05 Nopember 2018
Pukul
: 05:24 WIB
REFERENSI
:
Balai
Pustaka, “Sang Boma”
Penerbit
: Balai Putaka 1978
Tidak ada komentar:
Posting Komentar